Jumat, 25 November 2011

SALAH KAPRAH


Bagi kebanyakan  orang ‘jawa’ istilah salah kaprah mungkin tidak asing lagi. Salah kaprah dapat diartikan sebagai pembenaran terhadap hal–hal yang tidak benar. Salah Kaprah telah menggejala dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan merambah  segala bidang kehidupan kita.
Sungguh naïf jika salah kaprah ini terus berkembang. Negara kita tidak  akan pernah maju, kalau hal – hal yang salah dianggap suatu ‘kebenaran’. Apalagi kalau salah kaprah ini telah memasuki dunia pendidikan. Para pengambil kebijakan pendidikan, sering salah menafsirkan arti sebuah pendidikan. Sering sekali kebijaksanaannya justru menghancurkan dunia pendidikan itu sendiri. Mereka sering gembar – gembor, bahwa hasil pendidikan ‘diharapkan’ siap memasuki dunia kerja, seperti yang beberapa waktu lalu sering diiklankan di sebuah TV swasta.
Ternyata sang manager juga salah kaprah. Fungsi pendidikan, tidaklah sesederhana itu. Fungsi pendidikan antara lain memberikan peluang kepada  seseorang untuk memiliki ilmu pengetahuan, teknologi, berbagai kemahiran dan keahlian. Melalui pendidikan, orang bisa sampai pada kesadaran ‘pemilikan’ bahkan ‘penguasaan’ sesuatu kemampuan ekstra, sehingga makin meningkat pula kemampuannya untuk bertahan menghadapi berbagai permasalahan yang ada. Di lain fihak, pendidikan tidak sewajarnya hanya diarahkan pada ‘pemilikan’ ilmu pengetahuan dan teknologi atau kemahiran dan keahlihan tertentu. Tugasnya yang lebih utama adalah membangun diri pribadi sebagai kesejatian berhubungan dengan pembentukan identitas diri yang mantap ( moral dan akhlak ). Maka pendidikan di Indonesia pada utamanya menanggung upaya membentuk manusia Indonesia dengan identitasnya yang mantap dan ketahanan diri yang tangguh.
Dalam uraian diatas jelaslah kiranya, bahwa pendidikan harus memberikan peluang untuk memiliki sesuatu, agar dapat memantapkan kesejatian diri – pribadi. Dalam pengembangannya sebagai peraih ilmu pengetahuan dan teknologi, diharapkan agar manusia Indonesia maju tanpa keterasingan terhadap identitasnya sendiri. Keterasingan dari kesejatian diri – sendiri adalah awal dari suatu perubahan yang akhirnya bisa menjadi tanpa arah dan bahkan bebas nilai.
Itulah sebabnya kita juga jangan sekedar terpesona terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga berusaha keras untuk menguasainya sejauh mungkin, dan senantiasa berpijak pada bumi dan budaya kita sendiri. Dengan demikian kita tidak akan mudah tergelincir dan menjadi sekedar ’pemamah biak’ dari aneka hasil ilmu pengetahuan dan teknologi yang berasal dari bumi dan budaya asing, sehingga gerak dan perubahannya akan mengombang – ambingkan kita dalam ketidak pastian.
Oleh karena itu dipundak para pengambil kebijaksanaan terpikul beban etis yang utama, yaitu tetap memelihara martabat manusia Indonesia sebagai titik sentral yang paling berkepentingan atas peningkatan kualitas hidupnya, sebagai eksistensi yang merdeka, produktif, dan kreatif.
Pengembangan dan penerapan teknologi tidak dapat berlangsung dengan lompatan – lompatan besar, serta terobosan – terobosan jalan pintas yang lekas. Menyaksikan terjadinya kemajuan ilmu dan teknologi adalah satu hal yang mengesankan. Tetapi disisi lain, perlu pertimbangan yang matang untuk  menyerapnya.
Ada kecenderungan untuk memandang kemanusian terbagi menurut penjuru – angin. Mungkin untuk mudahnya orang bisa berbicara tentang Timur dan Barat ( dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ), atau Utara dan Selatan          ( dalam hal tingkat perkembangan ekonomi bangsa – bangsa ). Tetapi aneh untuk berbicara tentang “otak Timur” atau “otak Barat”, “ilmu Timur” atau “ilmu Barat”. Oleh karena itu kita perlu menempatkan diri pada titik orientasi yang tepat perihal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika para pengambil kebijakan sedikit punya pola pikir yang seperti itu mungkin tidak ada rumor “setiap ganti menteri berganti kebijaksanaan” Penggantian kebijaksanaan merupakan hal yang penting, manakala kita ingin menyelaraskan dengan perkembangan “ilmu dan teknologi”.Tetapi hendaknya penggantian itu melibatkan ‘orang – orang’ yang terkait didalamnya. Tetapi manakala yang terlibat didalamnya ‘bukan’ orang yang terkait maka akibatnya fatal, bukan salah kaprah lagi Mungkin kesalahan fatal  yang terjadi didunia pendidikan kita adalah dunia pendidikan dijadikan korban dunia politik.
Terkait dengan Ujian Nasional yang sudah semakin dekat, di harian Kompas ( 2 Maret 2010 ) dan harian Suara Merdeka ( 11 Maret 2010) dengan judul yang sama Intervensi setelah UN Akan Sentuh Guru. Di artikel tersebut disebutkan ada empat hal yang dapat menentukan kelulusan siswa, juga disebutkan bahwa tujuan UN adalah memadukan antara penentu kelulusan siswa serta peta atau data kualitas pendidikan. Jadi selain menentukan kelulusan siswa, UN juga bisa dipakai sebagai peta, sehingga kalau nanti dari hasil UN ada sekolah-sekolah tertentu yang kondisinya tidak bagus, maka bisa dilakukan intervensi untuk meningkatkan kualitas disekolah itu.
Dari artikel tersebut timbul sebuah pertanyaan apakah kondisi semua sekolah sama ? Baik sarana prasarana belajar, maupun sumber daya manusianya (guru, siswa). Padahal antar sekolah satu dengan yang lain pasti berbeda. Dengan kondisi seperti ini, masih dapatkah UN dijadikan sebagai peta?
Jika memang ujian nasional tidak bisa dihilangkan, hendaknya dicari format yang paling tepat untuk sekolah- sekolah di Indonesia. Manager harus menyadari bahwa lain ‘lubuk lain ikannya’. Pemerintah pusat cukuplah memberikan kisi – kisi beserta perangkat yang lain. Sementara isinya terserah ‘daerah’ atupun sekolah masing –masing. Mudah mudahan tulisan ini juga tidak salah kaprah dalam menilai dunia pendidikan kita.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar